Jelajahi Museum dengan Google Art Project
Jakarta – Google telah meluncurkan Google Art Project. sebuah situs yang menampilkan koleksi gambar digital dari museum di dunia. Seperti apa teknologinya?
Country Head Google Indonesia, Rudy Ramawi menjelaskan Google Art Project adalah sebuah aplikasi berbasis web yang menggunakan Java-based Google App Engine. Situs ini hadir di dalam infrastruktur Google dan dikembangkan dengan Google APIs yang tersedia untuk umum.
Terdapat dua area utama dalam situs Google Art Project. Area pertama adalah “Museum View” yang menggunakan teknologi Street View. Di sini para pengunjung situs dapat menjelajahi galeri dan museum yang ikut menjadi bagian dalam Google Art Project.
Metodenya sama seperti Street View pada Peta Google yang memungkinkan pengguna internet menelusuri jalanan secara virtual. Pada setiap museum atau galeri, karya-karya seni yang ditampilkan pada peta berdasarkan posisi lintang dan bujur, serta ditampilkan dengan anotasi klik melalui image Street View museum.
“Dari sini, pengunjung situs dapat mengklik untuk mengamati karya seni,” kata Rudy selepas Peluncuran Google Art Project di Museum Nasional Jakarta, Rabu (4/4/2012).
Area kedua adalah “Microscope View”. Teknologi ini menggunakan aplikasi Picasa untuk menampilkan tampilan gambar karya seni dalam resolusi yang sangat tinggi.
Pengunjung situs dapat memperbesar atau memperkecil hingga ke detil terkecil dari gambar tersebut, yang memungkinkan mereka untuk melihat detail yang sebelumnya hanya mereka lihat melalui konten yang ditampilkan oleh Google Scholar, Google Docs, dan YouTube APIs.
Beberapa museum memilih satu karya seni untuk ditampilkan dengan resolusi tinggi berskala ‘gigapixel’. Visual karya-karya seni ini berskala sekitar 7 miliar piksel atau sekitar 1.000 kali lebih detil dari resolusi yang dihasilkan oleh kamera digital pada umumnya.
Untuk menghasilkan menghasilkan gambar dengan resolusi yang demikian tinggi, tim Google Art Project menggunakan kamera profesional dan sistem komputer serta alat penggerak “multisyncronise”.
Setelah ribuan gambar diambil, maka gambar-gambar ini kemudian disatukan kembali dengan menggunakan teknologi Picasa. Semua gambar karya seni di Google Art Project kemudian disusun ke dalam komponen-komponen lebih kecil supaya seluruh piksel resolusi tinggi dapat diadaptasikan secara efisien dengan zoom skala dan kecepatan tinggi terhadap gambar-gambar lukisan yang ditampilkan.
Pengguna internet juga dapat membagi pengalaman mereka dengan Art Project kepada teman, keluarga atau kepada kelompok belajar mereka. Hanya dengan log-in menggunakan akun Google, pengunjung situs dapat membuat galeri pribadi yang menampilkan koleksi karya pilihan mereka.
“Dengan pemendek URL Google, pengunjung situs pun dapat mengirimkan link ke galeri pribadi mereka melalui email atau sosial media,” jelasnya.
Meski bisa dibagi, koleksi karya seni yang sudah ada di Google Art Project ini tidak bisa disimpan sebagai koleksi pribadi atau disalahgunakan untuk diproduksi sebagai karya palsu.
Google telah memberikan keamanan khusus pada setiap gambar atau video yang ada di Google Art Project.
“Pengguna bisa share foto atau video via email dan media sosial tapi tidak bisa diunduh untuk disimpan. Soalnya resolusi gambar akan langsung berubah kecil,” jelasnya. (kompas)
White Space, Teknologi Baru untuk Akselerasi Internet Pedesaan
JAKARTA–Microsoft mengembangkan White Space yaitu pemanfaatan frekuensi yang tidak terpakai untuk dipakai menjadi jaringan internet tanpa kabel (wifi).
“White space adalah teknologi baru yang memanfaatkan frekuensi kosong, misalnya frekuensi TV, tanpa mengganggu saluran frekuensi TV tersebut,” kata Kepala Bidang Teknologi Nasional Microsoft Indonesia Tony Seno Hartono.
Frekuensi TV menurut Tony berada pada 2,4 GHz dan hanya mampu menjangkau hingga 100 meter dengan satu pemancar sinyal (transmitter).
“Tapi dengan teknologi yang baru, frekuensinya lebih rendah yaitu pada 50-700 MHz dengan jangkauan hingga 3-4 kilometer sehingga satu desa dapat terkoneksi internet dengan hanya satu transmitter dan memanfaatkan frekuensi TV yang tidak ada channel-nya,” jelas Tony.
Teknologi tersebut juga dapat menyatukan sejumlah frekuensi yang tersebar untuk menjadi satu sehingga frekuensi yang tidak terpakai dapat digunakan untuk wifi.
“White space juga dapat melepaskan pemakaian frekuensi bila ternyata pemilik frekuensi tersebut misalnya stasiun TV sudah mengisi frekuensi tersebut, uji coba kami sudah dilakukan 2 tahun di Inggris dan sejauh ini tidak mendapatkan keluhan dari stasiun TV mana pun,” tambah Tony.
Menurut dia, teknologi ini dapat menjadi salah satu solusi untuk internet di pedesaan karena stasiun TV di pedesaan hanya sedikit.
“Namun penggunaan frekuensi tersebut memang memerlukan regulasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, tapi teknologi ini lebih murah dibanding harus memakai WiMax,” papar Tony.
WiMax (Worldwide Interoperability for Microwave Access) merupakan teknologi akses nirkabel pita lebar yang memiliki kecepatan akses yang tinggi dengan jangkauan yang luas.
Menurut data Kemkominfo, terdapat 41 ribu desa yang sudah mendapat akses telekomunikasi, namun masih ada 32 ribu desa yang belum dan menjadi target program Kewajiban Pelayanan Universal (KPU) yang mencakup desa dering, desa pintar, pusat layanan Internet kecamatan (PLIK), dan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK).
Di kawasan timur seperti Maluku dan Papua, pemerintah kesulitan membangun program KPU karena sulitnya medan untuk ditembus dan terbatasnya sarana transportasi menuju desa target. (republika)
Menkominfo: Digitalisasi Tak Perlu Izin DPR
VIVAnews – “Jangan membuat UU yang membatasi langkah teknologi.”
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat mendesak Menteri Komunikasi dan Informatika untuk menunda pelaksanaan semua Peraturan Menteri yang mengatur digitalisasi penyiaran. Aturan itu adalah Permen 22 Tahun 2011 dan 23 Tahun 2011.
Menteri Kominfo Tifatul Sembiring mengatakan aturan itu memang sedang dirumuskan kembali. Namun, Tifatul menganggap digitalisasi penyiaran tidak perlu izin DPR.
“Sudah berjalan, kami rumuskan kembali. Program ini kan tidak perlu izin DPR karena sifatnya teknis,” ujar Tifatul Sembiring, saat ditemui di Gedung TVRI Senayan, Senin 2 April 2012.
Menurutnya, peran DPR sebatas mengawasi apakah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang.
Tifatul juga meminta DPR, dalam hal ini Komisi I, untuk memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan teknologi yang semakin berkembang. “Jangan membuat UU yang membatasi langkah teknologi,” ucap Tifatul.
Ia pun menambahkan bahwa dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, semangat untuk mengantipasi perkembangan teknologi ini sudah ada meski dalam bagian penjelasan.
Pihak Kominfo sebenarnya sudah mempersiapkan kampanye TV Digital dengan membagikan 1 juta TV Digital ke masyarakat yang kurang mampu. “Kami usulkan itu sebagai kampanye,” katanya.
Dia mengatakan bahwa jumlah rumah tangga yang menonton televisi saat ini 60 juta. “Kami coba ini jika aturannya sudah jalan,” katanya. (kominfo)